Sabtu, 30 Juni 2012
Selasa, 26 Juni 2012
Moncong Anjing Sayap Malaikat
Ayahku anjing. Ibuku malaikat. Ketika Ayah
melolong di tengah malam nan jahanam, Ibu tengah menitikkan doa lewat air
matanya. Sedangkan aku terlahir sebagai anak yang bermoncong anjing dan
bersayap malaikat.
Ayahku menancapkan kemaluannya di sembarang
tempat. Di pohon-pohon, di batu-batu, dan di segala jenis anjing, betina, atau
jantan sekalipun. Dan ia dikenal sebagai anjing jantan tua yang lacur.
Sehingga, kota
ini pun hampir-hampir dipenuhi anak-anak serupa aku. Ada yang wajah dan perawakannya sama persis
denganku tetapi kulitnya lebih gelap seperti kulit kayu. Ada yang letak tahi lalatnya sama persis
seperti di bawah kelopak mataku, sampai-sampai ia operasi laser untuk
menghilangkan tahi lalat itu. Ada
yang mirip denganku, tetapi ia bisu dan lebih galak dariku. Demikianlah, di kota ini aku punya
puluhan, tidak, ratusan kembaran. Hal yang paling membedakan aku dengan mereka
adalah sayap malaikat. Sebab, ibu mereka cuma pohon-pohon, batu-batu, dan
segala jenis anjing, sedangkan ibuku malaikat.
Sebenarnya, aku mempunyai banyak kerabat. Namun
mereka bukan sebangsaku, mereka manusia. Berkali-kali mereka menjanjikan aku
operasi dan mantra-mantra, agar bisa menjadi seperti mereka. Berkali-kali aku
tagih janji itu, berkali-kali pula aku ditolak. “Ayahmu dulu memang seorang
manusia, tetapi sekarang ia anjing. Darah pembangkang ada dalam dirimu. Kami
pikir percuma saja kau berusaha menjadi manusia kalau pada akhirnya kau akan
berakhir seperti ayahmu.” Dan baru kali itu pula aku merasa benar-benar
dilecehkan. Untuk sementara, aku lebih memilih menjadi anak setengah anjing.
*
Orang-orang kota meributkan berbagai peristiwa belakangan
ini. Banyak dari mereka mati mendadak tanpa sebab yang jelas. Sebelum
kematiannya, perut mereka membuncit lalu meledak seperti pancaran mercon tahun
baru yang selalu aku lihat dari atap rumah. Mata mereka memicing atau merah
bara setiap kali aku lewat jalan-jalan kota.
Kata mereka, “Ayahmu seekor anjing pembunuh!” Sebab mereka tahu ayahku yang cuma
seekor anjing menutup matanya pada suatu malam purnama lalu melolong panjang
untuk iblis yang ada dalam dirinya. Setelah itu, ia bercinta dengan tong-tong
sampah, gundukan tanah keramat, atau pelacur yang kebetulan melintas. Separuh
diriku tidak bisa menerima perkataan itu, sebagaimana mereka tidak bisa
menerima kenyataan bahwa hidup sebenarnya akan berakhir dengan kematian.
Pada peristiwa lain, orang-orang kota menjadi linglung.
Uang dan perhiasan yang mereka simpan dalam pundi-pundi mereka raib begitu
saja. Bukan menghubungi polisi, mereka malahan lari mengadu ke dukun. Lantas
dukun itu bilang, “Seekor anjing beristri malaikat yang melakukannya.” Rumahku
langsung diburu warga yang geram. Aku terkejut mendapatkan rumahku sudah
dikurung ratusan manusia. Ibu yang menghadapi mereka. Sayapnya terlipat lesu.
“Maaf, Bapak tidak ada di rumah. Belum pulang”, ujar Ibu. Warga semakin murka
dan hampir-hampir membakar rumah kami –lebih tepatnya, rumah kontrakan.
Mengetahui hal itu, aku langsung berhambur keluar. Menggonggong dengan beringas
sambil mengepakkan sayap kebanggaanku.
“Kalau kalian hendak membakar sesuatu, bakar
saja ayahku. Dia yang bersalah, bukan kami!” ujarku penuh geram.
“Tapi dia ayahmu.” Sahut salah satu dari
mereka.
“Ah, persetan! Dia hanya pulang kalau dia lapar.”
Mereka pun membubarkan diri lalu menyebar ke
segala penjuru kota
mencari Ayah sambil membawa golok, parang, jerigen bensin, dan korek api.
Ibu menangis tersedu-sedu seraya memelukku.
“Ayahmu cuma seekor anjing, Nak…” Katanya
lirih.
“…sedangkan Ibu malaikat yang selamanya
tunduk kepada anjing.”
Aku hanya terdiam lalu menyalak lirih. Entah
harus berkata apa. Ibu seakan-akan sudah ditakdirkan menjadi malaikat, bukan
manusia yang memiliki amarah. Dan dalam pandanganku, Ibu adalah malaikat tanpa
cela.
**
Beberapa hari setelah peristiwa pengepungan
warga, kota
menjadi sepi. Orang-orang termenung, memikirkan bagaimana caranya memusnahkan ayahku.
Sebab, kata mereka, dia tidak bisa dibunuh dengan parang dan api. Keadaan ini
bertahan sampai berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Ayahku tetap anjing. Ibuku
tetap malaikat. Ayahku tetap pergi pagi dan pulang malam cuma untuk minta makan
pada ibu lalu menatap purnama dan melolong panjang melakukan ritualnya.
Keadaan tetap demikian. Hingga suatu ketika,
datang seorang manusia ksatria yang mencari Ayah. Ia hendak mengajaknya
bertarung. Pertarungan itu disaksikan oleh orang-orang kota di tengah alun-alun. Mereka menyiapkan
panggung yang besar dengan tata lampu yang wah. Bahkan ada doorprize dan sistem polling
sms! Pertarungan berlangsung berhari-hari sampai penonton merasa bosan dan
mual-mual. Hingga pada hari terakhir, manusia ksatria itu menggunakan ilmu
pamungkasnya, ilmu mantra putih. Dari setiap jengkal tubuhnya keluar cahaya
putih yang berubah menjadi keemasan dan terangnya mengalahkan lampu-lampu
panggung yang mulai redup. Ayahku yang cuma seekor anjing terkesima, lalu mati
seketika. Penonton yang tersisa bersorak kegirangan dan merayakannya dengan
mabuk-mabukan dan kebut-kebutan di jalan-jalan. Bersamaan dengan itu, moncong
anjingku hilang. Ah, aku jadi manusia, pikirku. Manusia bersayap malaikat....
Aku pun bersorak kegirangan lalu setengah
berlari pulang ke rumah.
“Ibu... Ibu... moncongku hilang... Ayah
mati... Ayah mati....!”
Kegiranganku terhenti. Aku lihat Ibu sedang
berkemas.
“Ada
apa, Bu? Mengapa Ibu berkemas?” tanyaku.
“Sudahlah, Nak. Ini kesempatan kita. Saat
inilah yang selalu Ibu khawatirkan dan Ibu bayangkan selama bertahun-tahun.
Kita pergi dari sini.”
Aku semakin tidak mengerti.
“Manusia ksatria itu adalah anak ayahmu yang
kesekian. Dia sudah bertapa belasan tahun untuk menghilangkan moncong anjingnya
dan datang ke sini untuk menuntut balas pada Ayah. Ia menyesal telah menjadi
darah daging ayahmu yang anjing itu.”
“Dari mana Ibu tahu?”
“Sudahlah, lekaslah kau berkemas. Sebentar
lagi orang-orang akan ke sini dengan pahlawan baru mereka untuk menghancurkan
rumah.”
“Tetapi, Bu? Kenapa? Apa alasannya?”
Ibu tidak menjawab. Tanganku kemudian
digamitnya dan aku dibawanya pergi, terbang dengan sayap kami.
“Rumah ini pernah menjadi tempat tinggal
anjing pembunuh, anjing celaka. Mereka pasti berpikir begitu.”
Kami terus saja terbang dan terbang.
“Kita akan pergi ke kota malaikat.”
Sebenarnya aku merasa berat untuk
meninggalkan kota
ini. Ingatanku kembali pada masa ketika aku benar-benar percaya kepada Ayah. Ia
selalu bilang, “Jangan pernah menjadi anjing, jadilah manusia, atau malaikat,
seperti Ibumu.”
“Iya, Ayah.”
Ah, Ayah cuma seekor anjing, anjing yang
tidak akan melolong lagi.
***
Yang Kutemui Engkau
Kucari
diriku
Yang kutemui
Engkau.
(2008)
Langganan:
Postingan (Atom)