Tips Hamil | Cara Cepat Hamil

Sabtu, 15 September 2012

Isyarat Awan kepada Hujan yang Menjelma Kemarau *)



Kekasih, mesti darimana aku berkisah? Saat hati begitu lemah dan terasa benar bagiku kerinduan yang benar-benar menyengsarakan perasaan jiwa. Hanya ada satu hal yang tersisa dan bisa kugali dari kenangan-kenangan manis kita dulu: kehadiranmu yang begitu lembut dan masih sama kurasakan. Tapi kau telah berlalu begitu saja, sebagaimana cita-citamu itu: mencintaiku dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. Ya, engkaulah awan itu dan aku hujan yang menjelma kemarau. Engkaulah awan yang menyampaikan isyarat yang tak kusadari. Mungkin kau telah melebur dengan alam, menjadi tanah, menjadi udara yang melingkupiku.     
Seperti saat ini, aku bisa merasakanmu. Entah benar entah khayalanku belaka. Aku mereka-reka, barangkali engkau ingin menyampaikan sesuatu kepadaku: “Maafkan aku, Mas. Aku tak bermaksud menjadikan hatimu kering, beku, atau bahkan berkarat. Aku tidak sanggup menahan hidup tanpa sehari pun bersamamu. Sungguh, aku tidak bermaksud membuat keadaan menjadi sedemikian sulit bagimu. Inilah kenyataan baru yang kita hadapi, kita dipisahkan oleh takdir. Betapa tidak adil bukan, Mas? Betapa buruk nasib kita. Padahal dulu sering kita berkhayal tentang rumah dan anak-anak kita kelak yang kita namai Pram, Gea, Adit… tapi kini, ah entahlah… Aku juga tidak begitu yakin untuk merelakan engkau dengan bunga lain yang akan menghiasi hidupmu. Aku hanya bisa menjadi bunga tidurmu, ketika kau terlelap pun ketika engkau terjaga tanpa kau sadari.”
     Tapi kau tidak meninggalkan pesan apa-apa dalam mimpi-mimpiku, malahan kau sudah semakin jarang mengunjungi alam tidurku! Aku tahu mimpi-mimpimu lebih panjang dari yang pernah terbayang, apa kau sudah sibuk dan tak menyisakanku secuil saja potongan waktu yang kau punya di sana? Sekali pernah kau datang. Kau memanggilku dan memberikan aku kecupan hangat, mengajakku ngobrol-ngobrol sebentar, lalu kau marah. Seketika penyakit yang kau derita kambuh, aku jadi menjauh ngeri. Aku terbangun bersimbah peluh. Terakhir kali bermimpi, aku mengintipmu sedang sembahyang dari celah pintu di rumah barumu di atas gunung nun jauh. Aku bisa tahu engkau bahagia. Semoga saja begitu. Karena aku tidak bisa memberi kebahagiaan yang lebih selama kau ada. Aku terlalu sering menyia-nyiakanmu. Aku tidak becus menjagamu. Ceroboh. Sejak semula aku memang tidak mendapatkan keyakinan bakal berjodoh denganmu sekalipun aku yakin aku merasa cocok denganmu.
Banyak orang yang menganggap perasaanku ini mudah saja. Saran-saran yang tidak bisa aku tolerir adalah untuk mencari cinta yang baru. Padahal seharusnya mereka tahu, cintaku kali terakhir kepadamu tidak akan bisa dibandingkan apalagi untuk diganti begitu saja. Cintaku sebulat tekadku untuk memilihmu sebagai satu jiwaku sebulan sebelum kau pergi, yang menjadikanku benar-benar menangis sejadi-jadinya. Aku tanpamu bukanlah aku. Setengah dari bagianku terlepas yang membuatku limbung begini. Pikiranku terbelah dua dan aku menjadi dua individu yang berbeda di tengah-tengah dualisme langkah hidup selanjutnya. Aku kini adalah seorang mahagalau yang tidak habis berpikir akan ada cobaan berat apalagi kelak? Seorang kawan berkomentar bahwa aku hebat dan suatu saat akan bisa membuat roman sendiri. Gila! Aku tidak akan mengomersialkan diri sendiri untuk sebuah keserakahan finansial yang tidak seberapa. Tapi aku tidak keberatan untuk menyampaikannya kepada langit, kepada ikan-ikan, dan makhluk yang aku jumpai tentang kepiluanku. Kepada hujan dan awan yang membuatku semakin merasa terpuruk.
Engkau salah besar, sayang, jika menganggap aku orang yang benar-benar kuat menghadapi terpaan dan mengatakannya kepada teman-temanmu. Aku berusaha untuk tegar di hadapan orang-orang meskipun hati ini tinggallah serpihan-serpihan. Kehadiranmu, kaulah semangat perjalanan hidupku. Aku bersumpah. Aku bahkan tak memiliki alasan untuk menahan hidup lebih lama lagi tanpamu.
Aku jadi sering mengkhayalkanmu, tidak nikmat tidur selama berbulan2 dan entah akan sampai berapa lama keadaan ini bertahan. Tak habis pikir, mengapa setiap awalan harus selalu berakhir. Sempat terlintas dalam benakku untuk bersatu denganmu secepatnya, tapi aku tidak terlalu menyukai alur yang tokohnya harus berakhir di akhir cerita.
Dahulu, setiap saat kau ingin selalu bersama denganku. Kini aku menyesal. Menyesali setiap jengkal kebodohanku yang tak bisa menangkap firasat kuat itu. Bahkan ketika kau menceritakan tentang mimpimu bertemu anubis si anjing, atau mimpi tentang kau dikafani. Ah, aku terlalu bodoh untuk menerjemahkan segala. Aku pun terus mengutuki diriku sebagai pembunuh karena membiarkanmu berlalu. Seharusnya aku membawamu ke rumah sakit yang paling bonafit sekalipun aku tahu itu tidak akan menunda waktumu untuk pulang.
 “Mengapa kau tidak bertahan, setidaknya sampai kita benar-benar mereguk kebahagiaan?” Aku berteriak dalam hati yang kosong. Tapi tak pernah kudengar jawabmu. Yang kudapati hanya semilir angin yang membuatku tercenung. Mungkin kau terlalu lelah dengan hidup yang begitu-begitu saja.
Baiklah cantik, aku akan mencoba sedikit mengerti dan menjalani kembali apa-apa yang ada di muka sambil menunggu saat kita bisa bersama lagi. Bila dunia fana bukanlah tempat kita berkumpul, biarlah aku menyimpan harapanku di lain tempat.

Jatinangor, April 2007

*) terinspirasi oleh puisi Aku Ingin karya Sapardi Djoko D.