Kekasih, mesti darimana aku berkisah? Saat
hati begitu lemah dan terasa benar bagiku kerinduan yang benar-benar
menyengsarakan perasaan jiwa. Hanya ada satu hal yang tersisa dan bisa kugali
dari kenangan-kenangan manis kita dulu: kehadiranmu yang begitu lembut dan
masih sama kurasakan. Tapi kau telah berlalu begitu saja, sebagaimana
cita-citamu itu: mencintaiku dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat
disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. Ya, engkaulah awan itu
dan aku hujan yang menjelma kemarau. Engkaulah awan yang menyampaikan isyarat
yang tak kusadari. Mungkin kau telah melebur dengan alam, menjadi tanah,
menjadi udara yang melingkupiku.
Seperti saat ini, aku bisa merasakanmu. Entah
benar entah khayalanku belaka. Aku mereka-reka, barangkali engkau ingin
menyampaikan sesuatu kepadaku: “Maafkan aku, Mas. Aku tak bermaksud menjadikan
hatimu kering, beku, atau bahkan berkarat. Aku tidak sanggup menahan hidup
tanpa sehari pun bersamamu. Sungguh, aku tidak bermaksud membuat keadaan
menjadi sedemikian sulit bagimu. Inilah kenyataan baru yang kita hadapi, kita
dipisahkan oleh takdir. Betapa tidak adil bukan, Mas? Betapa buruk nasib kita.
Padahal dulu sering kita berkhayal tentang rumah dan anak-anak kita kelak yang
kita namai Pram, Gea, Adit… tapi kini, ah entahlah… Aku juga tidak begitu yakin
untuk merelakan engkau dengan bunga lain yang akan menghiasi hidupmu. Aku hanya
bisa menjadi bunga tidurmu, ketika kau terlelap pun ketika engkau terjaga tanpa
kau sadari.”
Tapi
kau tidak meninggalkan pesan apa-apa dalam mimpi-mimpiku, malahan kau sudah
semakin jarang mengunjungi alam tidurku! Aku tahu mimpi-mimpimu lebih panjang
dari yang pernah terbayang, apa kau sudah sibuk dan tak menyisakanku secuil
saja potongan waktu yang kau punya di sana?
Sekali pernah kau datang. Kau memanggilku dan memberikan aku kecupan hangat,
mengajakku ngobrol-ngobrol sebentar, lalu kau marah. Seketika penyakit yang kau
derita kambuh, aku jadi menjauh ngeri. Aku terbangun bersimbah peluh. Terakhir
kali bermimpi, aku mengintipmu sedang sembahyang dari celah pintu di rumah
barumu di atas gunung nun jauh. Aku bisa tahu engkau bahagia. Semoga saja
begitu. Karena aku tidak bisa memberi kebahagiaan yang lebih selama kau ada.
Aku terlalu sering menyia-nyiakanmu. Aku tidak becus menjagamu. Ceroboh. Sejak
semula aku memang tidak mendapatkan keyakinan bakal berjodoh denganmu sekalipun
aku yakin aku merasa cocok denganmu.
Banyak orang yang menganggap perasaanku ini
mudah saja. Saran-saran yang tidak bisa aku tolerir adalah untuk mencari cinta
yang baru. Padahal seharusnya mereka tahu, cintaku kali terakhir kepadamu tidak
akan bisa dibandingkan apalagi untuk diganti begitu saja. Cintaku sebulat
tekadku untuk memilihmu sebagai satu jiwaku sebulan sebelum kau pergi, yang
menjadikanku benar-benar menangis sejadi-jadinya. Aku tanpamu bukanlah aku.
Setengah dari bagianku terlepas yang membuatku limbung begini. Pikiranku
terbelah dua dan aku menjadi dua individu yang berbeda di tengah-tengah
dualisme langkah hidup selanjutnya. Aku kini adalah seorang mahagalau yang
tidak habis berpikir akan ada cobaan berat apalagi kelak? Seorang kawan
berkomentar bahwa aku hebat dan suatu saat akan bisa membuat roman sendiri.
Gila! Aku tidak akan mengomersialkan diri sendiri untuk sebuah keserakahan
finansial yang tidak seberapa. Tapi aku tidak keberatan untuk menyampaikannya
kepada langit, kepada ikan-ikan, dan makhluk yang aku jumpai tentang
kepiluanku. Kepada hujan dan awan yang membuatku semakin merasa terpuruk.
Engkau salah besar, sayang, jika menganggap
aku orang yang benar-benar kuat menghadapi terpaan dan mengatakannya kepada
teman-temanmu. Aku berusaha untuk tegar di hadapan orang-orang meskipun hati
ini tinggallah serpihan-serpihan. Kehadiranmu, kaulah semangat perjalanan
hidupku. Aku bersumpah. Aku bahkan tak memiliki alasan untuk menahan hidup
lebih lama lagi tanpamu.
Aku jadi sering mengkhayalkanmu, tidak nikmat
tidur selama berbulan2 dan entah akan sampai berapa lama keadaan ini bertahan.
Tak habis pikir, mengapa setiap awalan harus selalu berakhir. Sempat terlintas
dalam benakku untuk bersatu denganmu secepatnya, tapi aku tidak terlalu
menyukai alur yang tokohnya harus berakhir di akhir cerita.
Dahulu, setiap saat kau ingin selalu bersama denganku.
Kini aku menyesal. Menyesali setiap jengkal kebodohanku yang tak bisa menangkap
firasat kuat itu. Bahkan ketika kau menceritakan tentang mimpimu bertemu anubis
si anjing, atau mimpi tentang kau dikafani. Ah, aku terlalu bodoh untuk
menerjemahkan segala. Aku pun terus mengutuki diriku sebagai pembunuh karena
membiarkanmu berlalu. Seharusnya aku membawamu ke rumah sakit yang paling
bonafit sekalipun aku tahu itu tidak akan menunda waktumu untuk pulang.
“Mengapa
kau tidak bertahan, setidaknya sampai kita benar-benar mereguk kebahagiaan?”
Aku berteriak dalam hati yang kosong. Tapi tak pernah kudengar jawabmu. Yang
kudapati hanya semilir angin yang membuatku tercenung. Mungkin kau terlalu
lelah dengan hidup yang begitu-begitu saja.
Baiklah cantik, aku akan mencoba sedikit
mengerti dan menjalani kembali apa-apa yang ada di muka sambil menunggu saat
kita bisa bersama lagi. Bila dunia fana bukanlah tempat kita berkumpul, biarlah
aku menyimpan harapanku di lain tempat.
Jatinangor, April 2007
*)
terinspirasi oleh puisi Aku Ingin karya
Sapardi Djoko D.