Dua Wajah Dipa Nusantara
Chapter 1
BERTAHUN-TAHUN orang mengenalnya sebagai "si jahat". Lelaki gugup
berwajah dingin dengan bibir yang selalu berlumur asap rokok.
Bertahun-tahun terdengar kalimat-kalimat ini meluncur dari mulutnya:
"Djawa adalah kunci..."; "Djam D kita adalah pukul empat pagi..."; "Kita
tak boleh terlambat...!"
Dipa Nusantara Aidit pada 1980-an
adalah Syu'bah Asa. Seniman dan wartawan ini memerankan Ketua Umum
Comite Central Partai Komunis Indonesia itu dalam film Pengkhianatan
G-30-S/PKI. Setiap 30 September film itu diputar di TVRI. Lalu di depan
layar kaca kita ngeri membayangkan sosoknya: lelaki penuh muslihat,
dengan bibir bergetar memerintahkan pembunuhan itu.
Di tempat
lain, terutama setelah Orde Baru runtuh dan orang lebih bebas berbicara,
PKI didiskusikan kembali. Juga Aidit. Pikiran-pikirannya dipelajari
seperti juga doktrin-doktrin Marxisme-Leninisme. Dalam sebuah diskusi di
Yogyakarta, seorang penulis muda pernah di luar kepala mengutip doktrin
151-ajaran dasar bagi kaum kiri dalam berkesenian. Diam-diam komunisme
dipelajari kembali dan Aidit menjadi mitos lain: sang idola.
Dia
memulai "hidup" sejak belia. Putra Belitung yang lahir dengan nama
Achmad Aidit itu menapaki karier politik di asrama mahasiswa Menteng
31-sarang aktivis pemuda "radikal" kala itu. Bersama Wikana dan Sukarni,
ia terlibat peristiwa Rengasdengklok-penculikan Soekarno oleh pemuda
setelah pemimpin revolusi itu dianggap lamban memproklamasikan
kemerdekaan. Ia terlibat pemberontakan PKI di Madiun, 1948. Usianya baru
25 tahun. Setelah itu, ia raib tak tentu rimba. Sebagian orang
mengatakan ia kabur ke Vietnam Utara, sedangkan yang lain mengatakan ia
bolak-balik Jakarta-Medan. Dua tahun kemudian, dia "muncul" kembali.
Aidit
hanya butuh waktu setahun untuk membesarkan kembali PKI. Ia mengambil
alih partai itu dari komunis tua-Alimin dan Tan Ling Djie-pada 1954,
dalam Pemilu 1955 partai itu sudah masuk empat pengumpul suara terbesar
di Indonesia. PKI mengklaim beranggota 3,5 juta orang. Inilah partai
komunis terbesar di dunia setelah Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina.
Dalam
kongres partai setahun sebelum pemilu, Aidit berpidato tentang "jalan
baru yang harus ditempuh untuk memenangkan revolusi". Dipa Nusantara
bercita-cita menjadikan Indonesia negara komunis. Ketika partai-partai
lain tertatih-tatih dalam regenerasi kader, PKI memunculkan anak-anak
belia di tampuk pimpinan partai: D.N. Aidit, 31 tahun, M.H. Lukman (34),
Sudisman (34), dan Njoto (27).
Tapi semuanya berakhir pada
Oktober 1965, ketika Gerakan 30 September gagal dan pemimpin PKI harus
mengakhiri hidup di ujung bedil. Aidit sendiri tutup buku dengan cara
tragis: tentara menangkapnya di Boyolali, Jawa Tengah, dan ia tewas
dalam siraman satu magazin peluru senapan Kalashnikov serdadu.
***
LAHIR
dari keluarga terpandang di Belitung, Sumatera Selatan, 30 Juli 1923,
D.N. Aidit adalah anak sulung dari enam bersaudara-dua di antaranya adik
tiri.
Ayahnya, Abdullah Aidit, adalah mantri kehutanan, jabatan
yang cukup terpandang di Belitung ketika itu. Ibunya, Mailan, lahir dari
keluarga ningrat. Ayah Mailan seorang tuan tanah. Orang-orang Belitung
menyebut luas tanah keluarga ini dengan ujung jari: sejauh jari menunjuk
itulah tanah mereka. Adapun Abdullah Aidit adalah anak Haji Ismail,
pengusaha ikan yang cukup berhasil.
Tak banyak fakta yang
menguraikan kehidupannya pada periode Belitung ini kecuali keterangan
dari Murad Aidit, anak bungsu Abdullah-Mailan. Meski disebut-sebut bahwa
Achmad adalah kakak yang melindungi adik-adiknya, ada pula cerita yang
menyebutkan ia sebetulnya tak peduli benar dengan keluarga. Kepada
Murad, suatu ketika saat mereka sudah di Jakarta, Aidit pernah
mengatakan satu-satunya hal yang mengaitkan mereka berdua adalah mereka
berasal dari ibu dan bapak yang sama. Tidak lebih. Dengan kata lain,
Achmad tak peduli benar soal "akar".
Di Belitung, ia bergaul
dengan banyak orang. Ia menjadi bagian dari anak pribumi, tapi juga
bergaul dengan pemuda Tionghoa. Simpatinya kepada kaum buruh dimulai
dari persahabatannya dengan seorang pekerja Gemeenschapelijke Mijnbouw
Billiton, tambang timah di kampung halamannya.
Tapi seorang bekas
wartawan Harian Rakjat, koran yang berafiliasi dengan PKI, menangkap
kesan lain tentang Aidit. Katanya, Dipa Nusantara bukan orang yang mudah
didekati. Ia tegang, ia tak ramah. "Saya tak pernah merasa nyaman bila
bersamanya," kata bekas wartawan itu. Dalam hal ini, potret Arifin C.
Noer, sutradara Pengkhianatan G-30-S/PKI, tentang Aidit mungkin tak
kelewat salah: Aidit adalah pegiat partai yang dingin-mungkin cenderung
kering.
Tak seperti Njoto, ia tak flamboyan. Ia tak main musik.
Kisah cintanya jarang terdengar, kecuali dengan Soetanti, dokter yang
belakangan menjadi istrinya. Pernah terdengar kabar ia menyukai seorang
gadis yang juga dicintai sastrawan kiri, Utuy Tatang Sontani. Tapi tak
ada perselisihan yang berarti. Ketika gadis itu menikah dengan lelaki
lain, keduanya cuma tersenyum simpul.
Aidit memang menulis puisi,
tapi sajak-sajaknya miskin imajinasi. Puisi-puisinya pernah ditolak
dimuat di Harian Rakjat, koran yang sebetulnya berada di bawah
kendalinya. Untuk itu ia murka, ia membanting telepon. Ada dugaan ia
menulis sajak karena Mao Tse-Tung menulis sajak. Dikabarkan pernah pula
ia berenang di sepotong sungai di Jakarta karena tahu Ketua Mao pernah
menyeberangi Sungai Yang-Tse di Cina.
Tapi, apa pun, ia memimpin
partai yang berhasil-setidaknya sampai G-30-S membuatnya porak-poranda.
Kini peristiwa itu dikenal dengan pelbagai tafsir dengan Aidit sebagai
tokoh yang selalu disebut.
Buku putih pemerintah Orde Baru
menyebutkan PKI adalah dalang prahara itu. Tujuannya jelas: menjadikan
Indonesia sebagai negara komunis. Hasil studi sejumlah Indonesianis asal
Cornell University, Amerika Serikat, menyimpulkan kejadian itu adalah
buah konflik internal Angkatan Darat. Studi ini disokong penelitian lain
yang dilakukan Coen Holtzappel.
Ada pula yang yakin Amerika
Serikat dan CIA yang menjadi dalang. Bekerja sama dengan klik tertentu
dalam Angkatan Darat, AS memprovokasi PKI untuk menjatuhkan Soekarno.
Peneliti Geoffrey Robinson termasuk yang mempercayai skenario ini.
Yang
lain percaya ada skenario Inggris dan CIA yang bertemu untuk
menjatuhkan Soekarno yang prokomunis. Ada pula yang berpendapat G-30-S
adalah skenario Soekarno untuk melenyapkan oposisi tertentu dalam
Angkatan Darat.
***
D.N. AIDIT sebetulnya punya sejumlah modal
untuk melancarkan revolusi-sesuatu yang dipercaya kaum komunis bisa
menjadikan masyarakat lebih baik: masyarakat tanpa kelas. Ia dekat
dengan Soekarno, ia punya massa. Tapi PKI punya kelemahan: mereka tak
punya tentara. Pengalaman partai komunis di banyak negara menunjukkan
kekuatan bersenjata di bawah kendali partai adalah esensial karena,
seperti kata Mao, kekuasaan lahir dari laras bedil. PKI pernah
mengusulkan dibentuknya angkatan kelima-dengan mempersenjatai buruh dan
tani-tapi gagasan itu segera ditentang tentara.
Mengatasi
keadaan, Aidit datang dengan teorinya sendiri. Sebuah revolusi bisa
dimulai dengan kudeta asalkan kup itu disokong 30 persen tentara.
Kabarnya, gagasan ini sempat dipersoalkan aktivis partai komunis negara
lain karena ide itu tak ada dalam ajaran Marxisme.
Di sinilah
muncul spekulasi bahwa Aidit "berjalan sendiri". Indikasi yang paling
sering disebut adalah ketika ia mendirikan Biro Chusus bersama Sjam
Kamaruzzaman-tokoh misterius yang bahkan tak banyak dikenal oleh
petinggi PKI sendiri. Pendirian Biro Chusus menjadi bahan gunjingan
karena dilakukan tanpa konsultasi dengan anggota Comite Central yang
lain. Sudisman menyebut ada dua faksi dalam partainya: PKI legal dan PKI
ilegal. Yang terakhir ini adalah sindiran Sudisman terhadap Biro
Chusus.
Itulah sebabnya, di hadapan seorang wartawan Harian
Rakjat, 6 Oktober 1965, Njoto pernah bertanya kepada Lukman tentang apa
yang terjadi dengan G-30-S. Lukman menggeleng.
Njoto, dalam
wawancaranya dengan Asahi Shimbun, 2 Desember 1965-dua pekan sebelum ia
dinyatakan "hilang"-menyerang keyakinan Aidit tentang kudeta yang bisa
bermutasi menjadi revolusi itu. "Revolusi siapa melawan siapa? Apakah
dengan demikian premis Untung (Letnan Kolonel Untung, pemimpin aksi
G-30-S-Red.) mengenai adanya Dewan Jenderal itu membenarkan coup
d'etat?" tanya Njoto.
Aiditkah dalang tunggal prahara G-30-S?
Dalam diskusi internal redaksi Tempo, Ibarruri Putri Alam, anak sulung
D.N. Aidit, menyangkalnya. Iba, kini bermukim di Paris, Prancis,
meyakini bapaknya pun tak tahu-menahu soal pembunuhan para jenderal.
Dari sejumlah studi yang dibacanya, ditemukan bahwa saat dibawa ke
Halim, Jakarta Timur, oleh aktivis PKI tak lama setelah pembunuhan
terjadi, Aidit bertanya-tanya, "Saya mau dibawa ke mana?"
Di
sinilah muncul spekulasi lain: Aidit ditelikung Sjam Kamaruzzaman.
Skenario ini bukan tak punya argumentasi. Sebuah studi misalnya mengutip
keterangan Mayor Angkatan Udara Soejono yang berbincang dengan Aidit
pada 30 September malam. Kepada Soejono, Aidit membenarkan kabar bahwa
informasi-informasi penting yang ditujukan kepadanya harus melalui Sjam.
Persoalannya,
menurut Soejono, rapat-rapat Politbiro menjelang G-30-S hanya
memerintahkan penangkapan para jenderal-untuk diserahkan kepada Bung
Karno-bukan pembunuhan. Ketidaksetujuan terhadap analisis militer Sjam
juga telah disampaikan seorang komandan batalion gerakan yang kemudian
ditahan di Rumah Tahanan Militer Salemba.
Begitukah? Tak pernah
ada jawaban tunggal atas prahara yang menewaskan ratusan ribu orang
tersebut. Tidak buku putih Orde Baru, tidak juga keyakinan Ibarruri.
Sejarah adalah sebuah proses menafsirkan.
Apa yang disajikan
dalam Liputan Khusus Tempo kali ini adalah upaya mengetengahkan
versi-versi itu. Juga ikhtiar membongkar mitos tentang D.N. Aidit. Bahwa
ia bukan sepenuhnya "si brengsek", sebagaimana ia bukan sepenuhnya
tokoh yang patut jadi panutan.
Masa Kecil di Belitung; Anak Belantu Jadi Komunis
Chapter 2
ACHMAD Aidit lahir pada 30 Juli 1923 di Jalan Belantu 3, Pangkallalang,
Belitung. Ayahnya Abdullah Aidit dan ibunya Mailan. Abdullah adalah
mantri kehutanan, jabatan yang cukup bergengsi di Belitung ketika itu.
Mailan lahir dari keluarga ningrat Bangka Belitung.
Ayah Mailan
bernama Ki Agus Haji Abdul Rachman. Titel ki pada nama itu mencirikan ia
ningrat. Dia juga tuan tanah. Orang-orang Belitung menyebut luas tanah
keluarga ini dengan ujung jari. Maksudnya, sejauh jari menunjuk, itulah
tanah mereka. Adapun Abdullah Aidit, anak Haji Ismail, seorang pengusaha
ikan yang makmur. Mereka memiliki puluhan sero, semacam tempat
penangkapan ikan di laut, dan pemasok ikan terbesar ke sejumlah pasar.
Ya, Achmad yang belakangan berganti nama menjadi Dipa Nusantara (D.N.) Aidit memang datang dari keluarga terhormat.
Karena
datang dari kaum terpandang itulah keluarga ini gampang bergaul dengan
polisi di tangsi, orang-orang Tionghoa di pasar, dan none-none Belanda
di Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton, sebuah perusahaan tambang timah
milik Belanda.
Berdiri pada 1825, perusahaan itu hanya dua
kilometer dari rumah Aidit. Dinasionalisasi pada era Soekarno, firma ini
berubah menjadi PT Pertambangan Timah Balitung, lalu ditutup pada April
1991 setelah stok timah di kawasan itu merosot.
Selain mudah
bergaul dengan tuan-tuan Belanda, anak-anak Abdullah juga gampang masuk
Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah menengah pemerintah Belanda
ketika itu. Kini bangunan sekolah itu masih tegap berdiri dan berganti
wujud menjadi Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Tanjung Pandan.
Abdullah
punya delapan anak. Semua lelaki. Dari perkawinan dengan Mailan, lahir
Achmad, Basri, Ibrahim (meninggal dunia ketika dilahirkan) dan Murad.
Abdullah kemudian menikah lagi dengan Marisah dan melahirkan Sobron dan
Asahan. Keenam anaknya itu menyandang nama belakang Aidit--nama
keluarga, "Namun bukan marga," kata Ibarruri Aidit, putri sulung D.N.
Aidit. Dua anak lainnya, Rosiah dan Mohammad Thaib, adalah anak bawaan
Marisah dengan suami sebelumnya.
Walau dididik di sekolah
Belanda, anak-anak Abdullah tumbuh dalam keluarga yang rajin beribadah.
Abdullah adalah tokoh pendidikan Islam di Belitung. Dia pendiri Nurul
Islam, organisasi pendidikan Islam dekat kawasan pecinan di kota itu.
Hingga kini sekolah itu masih tegak berdiri.
Sepulang sekolah,
Aidit dan adik-adiknya belajar mengaji. Guru mereka Abdurracham, adik
ipar Abdullah. Setelah mengaji, Achmad dan adik-adiknya meluncur ke
sungai mengambil air. Sebagai kakak tertua, Achmad biasanya membawa
jeriken paling besar.
Orang-orang di Jalan Belantu mengenal
Achmad Aidit sebagai tukang azan. Seperti di sebagian besar wilayah
Indonesia saat itu, Belitung juga belum punya pengeras suara guna
mengumandangkan azan. ”Karena suara Bang Achmad keras, dia kerap diminta
mengumandangkan azan," kata kata Murad Aidit.
Dari delapan anak
Abdullah, Achmad adalah yang paling mudah bergaul. Rupa-rupa geng remaja
di Belitung ia dekati. Setidaknya, ada empat geng di sana: geng
kampung, anak benteng, geng Tionghoa, dan geng Sekak.
Geng
kampung adalah kumpulan anak pribumi. Achmad dan adik-adiknya masuk
kelompok ini. Anak polisi yang datang dari Jawa masuk kelompok anak
benteng atau kerap juga disebut anak tangsi--menyebut asrama tempat
tinggal polisi.
Kelompok ketiga adalah geng Tionghoa. Orang tua
mereka berdagang di pasar dan pelabuhan Belitung. Karena tinggal di
pasar, geng itu punya nama lain yakni geng pasar. Kawasan ini cuma 500
meter dari rumah Aidit. Achmad kerap nongkrong bersama anak-anak geng
pasar ini. Saat ini kawasan pecinan itu masih berdiri tegak bahkan
berbiak. Sejumlah toko dan papan jalan ditulis dengan aksara Cina.
Kelompok anak muda yang terakhir adalah geng Sekak. Mereka datang dari
keluarga yang kerap berpindah tempat tinggal, semacam kaum gypsy di
Eropa.
Antargeng kerap terjadi baku pukul. Situasi yang serba
keras itu membuat Aidit membesarkan otot. Dia rajin berlatih tinju dan
olahraga angkat besi. Mungkin karena sering angkat besi, tubuh Aidit
lebih gempal daripada adik-adiknya.
Aidit menjadi pelindung
saudara-saudaranya dari perseteruan antargeng. Tapi dia tidak main
hajar. Suatu hari Murad baku pukul dengan seorang anak geng tangsi. Si
bungsu ini mengadu ke kakak sulungnya itu.
Diam-diam Aidit
melacak lawan sang adik. Pulang ke rumah, Aidit bilang kepada Murad,
"Kau lawan saja sendiri." Dari pelacakan itu, rupanya Aidit tahu bahwa
musuh itu masih sebanding dengan adiknya. Aidit rupanya cuma membantu
kalau lawannya lebih besar.
Walau pertikaian cukup sengit, Achmad
mudah bergaul dengan pelbagai geng. Dia, misalnya, kerap pulang malam
karena menonton wayang bersama anak-anak benteng di tangsi. Dia juga
kerap nongkrong di pasar bersama anak-anak Tionghoa. Kedekatan dengan
geng ini lantaran mereka satu sekolah di HIS.
Aidit juga rajin
menelusuri sungai bersama anak-anak Sekak. Mereka kerap berlomba
berenang di sungai dekat Gunung Tajam, sekitar 20 kilometer dari
Belitung. Suatu hari perlombaan dimulai dengan salto dari sebuah batu
besar. Anak-anak gunung melakukannya dengan sempurna. Tapi Achmad
menang, Karena dia bisa melakukan kontra-salto," kata Murad.
Aidit
juga kerap melindungi adik-adiknya dari sikap keras sang ayah. Suatu
petang Basri pernah bertindak ceroboh. Dia melepas 15 ekor itik dari
kandang milik keluarga itu. Abdullah yang mendengar kisruh ini murka
besar. Melihat adiknya dalam bahaya, Achmad mengaku dialah penyebab
kaburnya itik-itik itu. Tak rela Basri dimarahi, Achmad sejak petang
hingga magrib ke sana-kemari mencari kawanan unggas itu.
Pergaulan
Achmad memang lebih laju daripada remaja seusianya. Selain gemar
berkumpul dengan pelbagai kelompok remaja itu, dia juga bergaul dengan
buruh di Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton.
Letak perusahaan
itu sekitar dua kilometer dari rumah Aidit. Boleh jadi semangat
anti-Belanda dan perjuangan antikelas di kemudian hari bermula dari
tambang itu. Saban hari Aidit melihat buruh berlumur lumpur, bermandi
keringat, dan hidup susah. Sedangkan meneer Belanda dan tuan-tuan dari
Inggris hura-hura.
Perusahaan ini menyediakan societet, gedung
khusus tempat petinggi perusahaan dan none-none Belanda menonton film
terbaru sembari menenggak minuman keras. Buruh tambang itu cuma bisa
menelan ludah dan sesekali mengintip bioskop.
Tertarik mendalami
hidup para buruh, Achmad mendekati mereka. Tapi tak mudah karena para
buruh cenderung tertutup. Sampai suatu hari Achmad melihat seorang buruh
sedang menanam pisang di pekarangan rumah. Achmad menawarkan bantuan.
Tertegun sebentar, si buruh itu mengangguk. Aidit lalu mencangkul.
Sejak
saat itu Aidit bersahabat dengan buruh itu. Kian hari hubungan mereka
kian dekat. Kadang mereka ngobrol sembari menyeruput kopi dan mengudap
singkong rebus. Dari ngobrol-ngobrol santai itulah Aidit kemudian tahu
kesulitan para buruh, juga soal pesta-pora petinggi tambang.
Pergaulan
dengan kaum buruh itu, menurut Murad, yang menentukan jalan pikiran dan
sikap politik Achmad setelah di Jakarta. Hingga akhir ia memimpin
partai komunis dan tenggelam dalam peristiwa yang dikenal dengan Gerakan
30 September.
Rumah Tua Mantri Idit
Chapter 3RUMAH panggung itu tua dan setia. Di sana-sini, kayunya lapuk dan
berjamur. Sebagian atap berbahan sirap telah koyak dan diganti seng.
Hanya kerangka utama yang menggunakan kayu ulin yang masih kukuh.
Selebihnya ringkih dimakan zaman. Itulah rumah Abdullah Aidit, ayah Dipa
Nusantara Aidit-Ketua Umum Partai Komunis Indonesia.
Dibangun
pada 1921 oleh Haji Ismail, kakek D.N. Aidit dari garis bapak, rumah itu
terletak di Jalan Dahlan 12 (dulu Jalan Belantu 3) Dusun Air Berutak,
Desa Pangkalalang, Belitung Barat.
Seperti rumah-rumah lain di
Belitung, rumah ini punya dua bangunan utama: rumah depan dan rumah
belakang. Kini yang tersisa hanya rumah belakang berukuran 8x7 meter.
Bagian depan dibongkar tak lama setelah Abdullah Aidit meninggal pada 23
November 1965.
Di sana sekarang tinggal Gakdung, 48 tahun,
seorang buruh lepas Pelabuhan Tanjung Pandan asal Bugis. Gakdung tinggal
seorang diri. "Semula dia sewa. Tapi, karena hidupnya pun susah,
biarlah ia cuma-cuma menempatinya," kata Murad aidit, adik D.N. Aidit.
Ditempati
oleh nelayan miskin, rumah itu lusuh tak terawat. Yang tersisa hanya
sebuah bilik, ruang tamu, dan dapur. Di dinding kayu menuju dapur
terdapat kalender Partai Bulan Bintang bergambar Yusril Ihza Mahendra,
bekas ketua umum partai itu.
Rumah Abdullah sempat menjadi asrama
pelajar asal Kelapa Kampit, Belitung Timur, sebuah kawasan sekitar 54
kilometer dari Tanjung Pandan. Sekretaris Pemerintah Kabupaten Bangka
Barat, Abdul Hadi Adjin, pernah tinggal di sana.
Antara rumah dan
Jalan Dahlan yang memanjang di depannya, terdapat kebun dengan beberapa
pokok pohon pisang dan pohon jengkol. Sebagian kebun ini adalah bekas
rumah depan. Sebagian lagi yang lebih dekat jalan adalah bekas halaman
yang kini dipakai untuk lapangan badminton. Di sanalah dulu Achmad
Aidit-nama kecil Dipa Nusantara-berlatih tinju, angkat besi, dan senam.
Hingga D.N. Aidit hijrah ke Jakarta, halaman rumah ini masih menjadi
lapangan olahraga pemuda kampung Pangkalalang.
Sekitar 20 meter
dari rumah tua itu terdapat rumah tua lainnya yang lebih terawat dan
kukuh. Inilah rumah peninggalan Siti Azahra, istri Abdurrachman, qari di
kampung itu. Kepada Abdurrachmanlah dulu Ahmad belajar mengaji Quran.
Kini rumah ini dimiliki Efendi, kerabat Siti Azahra.
Anak-anak
Abdullah Aidit juga belajar mengaji kepada Liman, saudara sepupu Azahra.
Rumah Liman tak jauh dari kediaman Siti. Di rumah Liman, Achmad bersama
teman seumurannya juga berlatih kesenian hadrah.
Seratus meter
dari rumah Abdullah dulu berdiri surau panggung. Di sinilah Achmad kecil
kerap didapuk mendendangkan azan saat magrib dan isya. Sekarang surau
itu sudah rata tanah dan digantikan Kantor Bank Pembangunan Daerah
Sumatera Selatan Cabang Belitung.
Rosihan, 54 tahun, cucu Siti
Azahra, mengungkapkan bahwa sebagian orang yang lahir sebelum tahun 1970
mengenal rumah ini milik Mantri Aidit. Ini sebutan untuk Abdullah yang
pernah menjadi pegawai Boswezen, dinas kehutanan zaman Belanda. Abdullah
meninggal pada 1968 dalam keadaan yang mengenaskan. Jasadnya baru
ditemukan Marisah, istri kedua Abdullah, tiga hari setelah ia wafat.
Pada hari kematian itu, Marisah tengah pergi ke rumah kerabatnya dan
baru pulang tiga hari kemudian. Sepeninggal Abdullah, Marisah menempati
rumah itu hingga akhirnya Sang Khalik memanggilnya pada 1974.
Adakah
orang-orang di kampung Air Berutak menghubungkan rumah tua itu dengan
Aidit, tokoh penting Partai Komunis Indonesia? Tidak. "Buat kami, semua
biasa-biasa saja," kata Taufan, 52 tahun, cucu Siti Azahra. Semua memang
sudah lewat. Yang tersisa hanya gubuk ringkih beratap sirap-rumah
panggung yang tua dan setia.
Silsilah keluarga Aidit: Ranting yang Terberai
Chapter 4
ACHMAD "Dipo Nusantara" Aidit tak lahir dari keluarga komunis. Ayahnya,
Abdullah Aidit, adalah muslim taat dan pemuka masyarakat yang dihormati.
Kakek dari garis ibu, Ki Agus Haji Abdul Rachman, adalah pendiri Batu
Itam, kampung di pesisir di barat Belitung, sekitar 15 kilometer utara
Tanjungpandan. Tapi garis hidup dan politik ideologi mencerai-beraikan
anak dan cucu Abdullah. Kini mereka hidup terpisah, sebagian menjadi
eksil di Eropa.
Merantau ke Jakarta: Sejak Awal Membaca Risiko
Chapter 5
"AKU mau ke Batavia," kata Achmad Aidit kepada ayahnya, Abdullah. Waktu
itu awal 1936. Achmad berusia 13 tahun, baru lulus Hollandsch Inlandsche
School, setingkat sekolah dasar masa itu. Di Belitung, tempat tinggal
keluarga Aidit, sekolah "paling tinggi" memang hanya itu. Untuk masuk
sekolah menengah-dikenal dengan nama Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO)-pemuda-pemuda pulau itu harus merantau ke Medan atau Jakarta.
Meninggalkan
Belitung bukan pilihan yang lazim pada masa itu. Pemuda yang merantau
sampai tanah Jawa bisa dihitung dengan jari. Tapi Aidit bisa meyakinkan
ayahnya. "Abang saya paling jarang meminta sesuatu kepada Bapak," kata
Murad Aidit, adik kandung Achmad, kepada Tempo, dua pekan lalu. Kalau
sudah sampai meminta sesuatu, kata Murad, itu artinya tekad Aidit sudah
benar-benar bulat.
Adik Aidit yang lain, Sobron, dalam bukunya
Aidit: Abang, Sahabat, dan Guru di Masa Pergolakan, menjelaskan bahwa
untuk diizinkan merantau, seorang remaja harus memenuhi empat syarat:
bisa memasak sendiri, bisa mencuci pakaian sendiri, sudah disunat, dan
sudah khatam mengaji. Keempat syarat itu sudah dipenuhi Aidit.
Setibanya
di Batavia, Achmad Aidit ditampung di rumah kawan ayahnya, Marto,
seorang mantri polisi, di kawasan Cempaka Putih. Sayangnya, pendaftaran
MULO sudah ditutup ketika Aidit tiba di Jakarta. Dia harus puas
bersekolah di Middestand Handel School (MHS), sebuah sekolah dagang di
Jalan Sabang, Jakarta Pusat.
Bakat kepemimpinan Aidit dan
idealismenya yang berkobar-kobar langsung menonjol di antara kawan
sebayanya. Di sekolahnya yang baru, Aidit mengorganisasi kawannya
melakukan bolos massal untuk mengantar jenazah pejuang kemerdekaan
Muhammad Husni Thamrin, yang ketika itu akan dimakamkan. Karena terlalu
aktif di luar sekolah, Aidit tidak pernah menyelesaikan pendidikan
formalnya di MHS.
Tiga tahun di Cempaka Putih, Aidit pindah ke
sebuah rumah di Tanah Tinggi 48, kawasan Senen, Jakarta Pusat. Ketika
indekos di sini, Murad datang menyusul dari Belitung, juga untuk
bersekolah di Jakarta.
Menyekolahkan dua anak jauh dari rumah
tentu tak mudah untuk keuangan Abdullah Aidit. Gajinya sebagai mantri
kehutanan hanya sekitar 60 gulden sebulan. Dari jumlah itu, 15-25 gulden
dikirimnya ke Batavia. Tentu saja jumlah itu juga pas-pasan untuk dua
bersaudara Aidit.
Apalagi ketika masa pendudukan Jepang tiba,
pada 1942. Hubungan komunikasi antara Jakarta dan kota sekitarnya
terputus total. Saat itu, dari rumah tumpangannya di Tanah Tinggi, Aidit
menyaksikan ribuan orang berduyun-duyun menjarah gudang-gudang
perkapalan di Pelabuhan Tanjung Priok. Dari pagi sampai sore, aneka
jenis barang diangkut massa ke Pasar Senen, mulai dari ban mobil, mesin
ketik, sampai gulungan kain bahan baju.
Kiriman uang dari
Belitung macet. Untuk bertahan hidup, Achmad dan Murad mau tak mau harus
mulai bekerja. Aidit lalu membuat biro pemasaran iklan dan langganan
surat kabar bernama Antara. Lama-kelamaan, selain biro iklan, Antara
juga berjualan buku dan majalah. Tatkala abangnya sibuk melayani
pelanggan, Murad biasanya berjualan pin dan lencana bergambar wajah
pahlawan seperti Kartini, Dr Soetomo, dan Diponegoro, di dekatnya.
Berdagang
memang bukan pekerjaan baru untuk Aidit. Ketika masih tinggal di
Belitung, setiap kali ada pertandingan sepak bola di Kampung Parit,
Aidit selalu berjualan kerupuk dan nanas. "Untuk ditabung," Sobron
berkisah dalam bukunya.
Tak puas dengan perkembangan usahanya,
Aidit kemudian mengajak seorang kawan yang tinggal satu indekos
dengannya, Mochtar, untuk berkongsi. Mochtar ini seorang penjahit yang
punya toko lumayan besar di Pasar Baru. Karena lokasi usahanya yang
strategis, toko Mochtar segera menjadi tempat mangkal para aktivis masa
itu, seperti Adam Malik dan Chaerul Saleh. Otomatis, jaringan relasi
Aidit meluas.
Ketika Mochtar menikah dan menyewa rumah sendiri di
kawasan Kramat Pulo, Aidit dan Murad ikut pindah ke sana. Kondisi ini
menguntungkan Aidit, karena Mochtar sering membiarkan kakak-beradik itu
tidak membayar sewa. "Pakai saja untuk keperluan lain," katanya seperti
ditirukan Murad. Tapi, kalau Mochtar sedang butuh duit, setoran uang
sewa Murad akan dimasukkan ke kantong. Biasanya, kalau begitu, Aidit
akan menggerutu. "Kamu sih, terlalu menyodor-nyodorkan uangnya, makanya
dia terima," katanya memarahi Murad.
Namun situasi ekonomi yang
terus memburuk membuat Aidit akhirnya angkat tangan. Murad diminta
tinggal di sebuah asrama korban perang, sebelum dikirim pulang ke
Belitung.
***
SITUASI politik Ibu Kota yang gegap-gempita
sudah menarik minat Aidit sejak awal. Dia pertama-tama bergabung dengan
Persatuan Timur Muda atau Pertimu. Pekumpulan ini dimotori Gerakan
Rakyat Indonesia (Gerindo), di bawah pimpinan Amir Syariffudin dan Dr
Ahmad Kapau Gani. Dalam organisasi inilah persinggungan Aidit dengan
politik makin menjadi-jadi. Hanya dalam waktu singkat, Aidit diangkat
menjadi Ketua Umum Pertimu.
Di balik karier politiknya yang mulai
menjulang, Aidit seperti mencoba mengibaskan bayang-bayang keluarga dan
masa lalunya di Belitung. Ketika Murad berkali-kali meminta bantuan
finansial, misalnya, Aidit selalu menolak. Suatu kali Aidit bahkan
berujar bahwa persamaan di antara mereka hanyalah faktor kebetulan,
karena dilahirkan dari ibu dan bapak yang sama. "Selebihnya, tak ada
hubungan apa pun di antara kita," katanya.
Sekitar masa-masa
itulah Achmad Aidit memutuskan berganti nama. Dia memilih memakai nama
Dipa Nusantara-biasa disingkat D.N. Menurut adik-adiknya, pergantian
nama itu lebih dipicu perhitungan politik Aidit. "Dia mulai membaca
risiko," kata Murad. Sejak namanya berubah itu memang tak banyak orang
yang tahu asal-usul Aidit. Dia sering disebut-sebut berdarah
Minangkabau, dan D.N. di depan namanya adalah singkatan "Djafar Nawawi".
Proses
perubahan nama itu juga tak mudah. Abdullah, ayah Aidit, tak bisa
dengan segera menerima gagasan anaknya. Di depan anak-anaknya, Abdullah
mengaku tidak bisa menerima rencana pergantian nama itu karena nama
Achmad Aidit sudah kadung tercetak di slip gajinya sebagai putra sulung
keluarga itu. Akan muncul banyak persoalan jika nama itu mendadak lenyap
dari daftar keluarga.
Abdullah dan Aidit bersurat-suratan
beberapa kali, sebelum akhirnya Abdullah menyerah. Ayah dan anak itu
sepakat, nama D.N. Aidit baru akan dipakai jika sudah ada pengesahan
dari notaris dan kantor Burgelijske Stand-atau catatan sipil.
Sumber: http://www.goodreads.com/story/show/279167-dipa-nusantara-aidit-laporan-utama-majalah-tempo-edisi-oktober-2007?chapter=1