Bahasa kias (majas) atau figurative language
merupakan bahasa yang susunan & arti katanya sengaja disimpangkan
dari susunan & arti semula. Itu bisa dilakukan dengan cara memanfaatkan pertautan, perbandingan atau pertentangan hal satu dengan hal lain, yang maknanya sudah dikenal oleh pembaca .
Dalam
teori sastra, mengacu pada pendekatan struktural, struktur puisi dibagi
menjadi dua: struktur fisik dan struktur batin. Bahasa kias merupakan salah
satu unsur dari struktur fisik puisi, selain tipografi (perwajahan
puisi), kata konkret, versifikasi (rima, irama), imaji dan diksi. Bila
dimanfaatkan secara optimal, bahasa kias bisa mendukung kekuatan
struktur batin puisi.
Bahasa kias dipergunakan untuk tujuan(1) mendeskripsikan sesuatu yang tak konkret menjadi lebih konkret, sehingga ‘lebih dekat’ dengan pembaca, (2) memberi sensasi dan imajinasi, sehingga lebih berasa nikmat dalam membacanya, (3) menghasilkan tambahan makna, (4) memampatkan (memadatkan) ungkapan makna dalam sajak.
Bahasa kias dapat dijadikan mediator untuk menyampaikan pesan/amanat yang terkandung dalam puisi. Pemakaian bahasa kias sebenarnya bukan monopoli puisi. Di banyak teks prosa—semisal cerpen atau novel—bahasa kias juga banyak dipakai untuk tujuan yang sama. Berikut ini disajikan beberapa bahasa kias yang paling sering dipakai :
Bahasa kias dipergunakan untuk tujuan(1) mendeskripsikan sesuatu yang tak konkret menjadi lebih konkret, sehingga ‘lebih dekat’ dengan pembaca, (2) memberi sensasi dan imajinasi, sehingga lebih berasa nikmat dalam membacanya, (3) menghasilkan tambahan makna, (4) memampatkan (memadatkan) ungkapan makna dalam sajak.
Bahasa kias dapat dijadikan mediator untuk menyampaikan pesan/amanat yang terkandung dalam puisi. Pemakaian bahasa kias sebenarnya bukan monopoli puisi. Di banyak teks prosa—semisal cerpen atau novel—bahasa kias juga banyak dipakai untuk tujuan yang sama. Berikut ini disajikan beberapa bahasa kias yang paling sering dipakai :
Simile
Bahasa
kias yang membandingkan dua hal atau lebih yang hakikatnya berbeda,
tetapi dianggap mengandung segi yang serupa. Keserupaan itu dinyatakan
secara tersurat dengan kata : bagai, sebagai, bak, semisal, seperti,
ibarat, seumpama, laksana dan sebagainya.
Contoh :
Tuhan Engkaukah itu
Sekilas sinar yang berpendar-pendar
Terpantul mengarak langit, berkelip-kelip
Berkedip-kelip , memutar melingkar kelam
Membuih membentur perut malam
Seperti warna-warna pijar bertubrukan
Dalam ruang gelap tetapi entah dimana
( Nana Suryana, ”Tuhan Engkaukah itu?”)
Sinar yang berpendar-pendar dideskripsikan sedemikian rupa, sehingga seperti warna-warna yang bertubrukan.
Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
(Sapardi Djoko Damono, ”Yang Fana adalah Waktu”)
Dalam baris di atas, waktu (detik demi detik) disamakan dengan rangkaian bunga.
Metafora
Bahasa
kias yang mengandung perbandingan yang tersirat sebagai pengganti kata
atau ungkapan lain untuk melukiskan kesamaan atau keselarasan makna. Rahmat
Djoko Pradopo mendefinisikan metafora sebagai ’menyatakan sesuatu
sebagai hal yang sama atau seharga dengan hal lain, yang sesungguhnya
tidak sama.”
Metafora
terdiri dari dua bagian : term pokok (tenor) dan term sekunder
(vehicle). Tenor untuk menyebutkan benda yang dibandingkan, sedangkan
vehicle adalah hal untuk membandingkan/menyamakan. Atas dasar ini,
metafora dibagi menjadi dua : Metafora Implisit (hanya mempunyai
vehicle) dan Metafora Eksplisit (mempunyai vehicle dan tenor).
Kalian tahu, pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya
Tak peduli darahku atau darah kita
(Sapardi Djoko Damono, ”Kami Bertiga”)
Metafora implisit terletak pada kata pisau yang diumpamakan makhluk hidup yang mempunyai darah.
Dendam yang dihamilkan hujan
(Sapardi Djoko Damono, ”Kuhentikan Hujan”)
Hujan dalam baris tersebut secara implisit digunakan untuk menyatakan kesedihan.
Dalam diriku mengalir sungai panjang
Darah namanya
Dalam diriku menggenang telaga darah
(Sapardi Djoko Damono, ”Dalam Diriku”)
Secara eksplisit aliran darah disamakan dengan sungai panjang. Dalam hal ini, Darah berfungsi sebagai tenor, sedangkan sungai panjang adalah vehiclenya
Tuhan
Tertimbun
di balik surat pajak
berita politik
pembagian untung
dan keluh tangga kurang air
(Subagyo Sastro Wardoyo, “Sodom dan Gomorrha”)
Tertimbun
di balik surat pajak
berita politik
pembagian untung
dan keluh tangga kurang air
(Subagyo Sastro Wardoyo, “Sodom dan Gomorrha”)
Judul
sajak "Sodom dan Gomorrha" diambil dari nama dua kota yang dikutuk oleh
Tuhan karena para penghuninya berakhlak sangat buruk. Dalam sajak
tersebut penyair mengungkapkan bahwa orang-orang yang tidak mengakui
adanya kehebatan Tuhan dimetaforiskan dengan "Tuhan tertimbun di balik surat pajak". Dalam
hal ini Tuhan dibandingkan sesuatu benda yang tertimbun di balik surat
pajak. Pemanfaatan majas tersebut menjadikan pernyataan lebih konkret.
Pada sajak yang lain, metafora dapat dilihat pada sajak "Lamunan Aborijin" di bawah ini.
Masa lalu adalah panas terik di padang
pasir dan berkelana di zaman mimpi tak
bertepi
pasir dan berkelana di zaman mimpi tak
bertepi
Masa kini adalah berkeliaran di pinggir
kota dan melupakan diri dalam bir dan
wiski
kota dan melupakan diri dalam bir dan
wiski
Masa depan adalah malam yang panjang
tanpa setitik cahaya di langit kelam.
(Subagyo Sastro Wardoyo, “Lamunan Aborijin”)
tanpa setitik cahaya di langit kelam.
(Subagyo Sastro Wardoyo, “Lamunan Aborijin”)
Untuk
melukiskan kekuatan imaji (pencitraan), penyair memperbandingkan "Masa
lalu" dengan "panas terik di padang pasir dan berkelana di zaman mimpi
tak bertepi". Sedangkan "Masa depan" dibandingkan dengan "malam yang
panjang tanpa setitik cahaya di langit kelam". Dalam hal ini, “masa
lalu” dan “Masa depan” merupakan tenor, sedangkan vehiclenya adalah “Panas terik…” dan “malam panjang…”
Terlihat jelas, pemanfaatan majas metafora membuat pernyataan menjadi lebih intensif dan konkret. Sesuatu yang bersifat abstrak seperti “masa lalu” dan “masa depan” dapat lebih dikonkretkan secara deskriptif.
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
aku tetap meradang menerjang
( Chairil Anwar, "Aku Ini Binatang Jalang")
Di sini, sosok "Aku" digambarkan sebagai "binatang jalang". Metafora ini dihadirkan untuk mempertegas (dan sekaligus dipertegas) kehadiran dua bait sebelumnya: Kalau sampai waktuku / kumau tak seorang kan merayu / Tidak juga kau // Tak perlu sedu sedan itu.
Berikut
ini disajikan beberapa contoh yang lain. Silakan dicermati, mana yang
tergolong metafora implicit, dan mana yang eksplisit :
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala tampak
(Chairil Anwar, "Rumahku")
mungkin juga
dikaulah puteri tujuh
yang tanpa lelah
mengumpulkan air matamu
kemudian disulingkan
sebagai minyak bumi
(Taufik Ikram Jamil, “kisah pagi ini")
Kaca jernih dari luar segala tampak
(Chairil Anwar, "Rumahku")
mungkin juga
dikaulah puteri tujuh
yang tanpa lelah
mengumpulkan air matamu
kemudian disulingkan
sebagai minyak bumi
(Taufik Ikram Jamil, “kisah pagi ini")
hatiku meleleh di selat tebrau
sia-sia kuhisap
sejak 1824
sejarah menjadi topan di kepalaku
(Taufik Ikram Jamil, "sejak 1824")
sia-sia kuhisap
sejak 1824
sejarah menjadi topan di kepalaku
(Taufik Ikram Jamil, "sejak 1824")
alif, alif, alif!
alifmu pedang di tanganku
susuk di dagingku, kompas di hatiku
alifmu tegak jadi cagak, meliut jadi belut
hilang jadi angan, tinggal bekas menetaskan
terang
hingga aku
berkesiur
pada
angin kecil
takdir-
mu
(D .Zawawi Imron, "Zikir”)
aku bayangkan
sebuah bisul yang membesar menjadi gunung
setelah pecah
di puncaknya muncul kaldera
aku bayangkan
sebuah luka yang meluas menjadi laut
yang airnya darah bercampur nanah
(D .Zawawi Imron, "Aku Bayangkan", ibid)
Bulu matamu: padang ilalang
Di tengahnya: sebuah sendang.
(Joko Pinurbo, "Bulu Matamu: Padang Ilalang")
Ia membabat padang rumput yang tumbuh subur
di kepalaku. Ia membabat rasa damai yang merimbun
sepanjang waktu.
(Joko Pinurbo, "Tukang Cukur")
alifmu pedang di tanganku
susuk di dagingku, kompas di hatiku
alifmu tegak jadi cagak, meliut jadi belut
hilang jadi angan, tinggal bekas menetaskan
terang
hingga aku
berkesiur
pada
angin kecil
takdir-
mu
(D .Zawawi Imron, "Zikir”)
aku bayangkan
sebuah bisul yang membesar menjadi gunung
setelah pecah
di puncaknya muncul kaldera
aku bayangkan
sebuah luka yang meluas menjadi laut
yang airnya darah bercampur nanah
(D .Zawawi Imron, "Aku Bayangkan", ibid)
Bulu matamu: padang ilalang
Di tengahnya: sebuah sendang.
(Joko Pinurbo, "Bulu Matamu: Padang Ilalang")
Ia membabat padang rumput yang tumbuh subur
di kepalaku. Ia membabat rasa damai yang merimbun
sepanjang waktu.
(Joko Pinurbo, "Tukang Cukur")
Personifikasi
Personifikasi
merupakan bahasa kias yang membandingkan sesuatu yang bukan manusia
(benda, tumbuhan/hewan), yang diandaikan seolah-olah memiliki
sifat-sifat manusia. Personifikasi memproyeksikan sifat-sifat manusia
untuk dilekatkan pada hal lain. Dengan personifikasi, benda-benda
direkayasa sehingga seolah-seolah dapat bertindak, berpikir atau merasa
sebagaimana manusia.
Personifikasi
dipergunakan untuk membuat pencitraan terasa lebih hidup, seperti
lukisan yang bisa dilihat secara konkret dan detail.
Nuansa
alam sering menginspirasi hadirnya sebuah karya. Karenanya, tak
mengherankan jika banyak penulis sering memakai bahasa kias
personifikasi ini. Dalam puisi berikut, dingin
digambarkan bisa bergerak, menggigit dan mengetuk pintu. Padahal
sifat-sifat seperti ini, hanya dimiliki manusia.
Dingin bergerak memenuhi udara , menggigit dosa
Berarak mendatangi Mu menggigil mengetuk pintu
”adakah aku disitu?”
Sedu sedan angin yang sebentar menghilang
Mendekat, suaraMu dari kisi jendela
Dia terbaring dalam gelimang kata sia-sia
(Nur Hayat Arif Permana, ”Lanskap Subuh”)
Kutampar laut yang hendak merampas tanganmu
Tak mungkin ku lepas keindahan yang begitu lama kutunggu
Meski hujan meski badai, aku tetap mengikut kabut
Membangun istana laba-laba dari duri mawar
Dan getah kamboja. Keikhlasan adalah selembar daun yang tanggal dari tangkainya ketika masih berembun
(Kusprinyanto, ”Metonimia”)
Disini terlihat, perbandingan aku yang sebagai manusia dengan laut yang merupakan benda mati. Kutampar laut yang hendak merampas tanganmu
, adalah sifat dan kebiasaan manusia dalam melakukan perlawanan atau
membela diri karena ada sesuatu yang hilang diambil oleh laut. Haal
tersebut memberikan gambaran bagi pembaca dan memberikan kesan hidup
karena puisi tersebut sudah diberi ruh.
Nada-nada lembut mendambakan hidup
murni, tulus dan kalis dari dosa
Seperti bunyi suling, gender dan
rebab yang menyentuh sanubari
Kesepian harus diterima sebagai
nasib yang tersurat
(Subagyo Sastro Wardoyo, Motif II)
murni, tulus dan kalis dari dosa
Seperti bunyi suling, gender dan
rebab yang menyentuh sanubari
Kesepian harus diterima sebagai
nasib yang tersurat
(Subagyo Sastro Wardoyo, Motif II)
Pada sajak di atas penyair menggambarkan rebab bisa memiliki sifat menyentuh, sebagaimana dimiliki manusia.
Metonimia
Metonimia
adalah bahasa kias yang menggunakan nama untuk benda lain yang menjadi
merk, ciri khas, atau atribut. Biasanya metonimia dipakai untuk
melambangkan suasana atau keadaan tertentu; terutama untuk latar yang
kental. Mari kita amati beberapa contoh berikut :
Aku tengah menantimu, mengejang bunga randu alas
Di pucuk kemarau yang mulai gundul itu
Berapa juni saja menguncup dalam diriku dan kemudian layu
(Sapardi Djoko Damono, ”Aku tengah menantimu”)
Kata Juni diatas dipakai penyair sebagai mengganti musim kemarau.
Saudaraku meraung, saling cabut perang
Jalan-jalan berdarah. Hidup pun tak punya arah
Langit bergoyang. Bumi berguncang
Engkau bersimbah darah
Aku orang ruh dalam daging, mengapung seharian
Di kamp Nazi aku dipasung derita
Tapi jauh sebelum itu kau turihkan inri
Didaging-dagingku .aku hidup
Dikaji Tuhan mengaji Tuhan
(Soni Farid Maulana, ”Sajak”)
Pada
bait pertama sudah dijelaskan secara rinci tentang kekacauan yang
terjadi di masa perang. Biarpun demikian dalam bait berikutnya, penulis
merasa perlu mempertegas settingnya. Bahwa hal tersebut terjadi ketika
Nazi berkuasa. Dalam hal ini kamp Nazi mewakili era Nazi, ketika perang merajalela di Eropa.
Takbir
Membasuh dosa
Tahmid
Melumat luka
(Matdon, ”Idul fitri”)
Kata takbir dan tahmid pada puisi di atas identik dengan suasana idul fitri.
Sinekdoke
Bahasa
kias yang menyebutkan bagian penting suatu benda/hal untuk benda/hal
itu sendiri. Sinekdoke ada dua macam yakni : (1) Pars pro toto
(melukiskan sebagian tetapi yang dimaksud adalah seluruhnya) dan, (2)
Totem pro parte (melukiskan keseluruhan tetapi yang dimaksudkan adalah
sebagian).
Seruling bambu itu membayangkan ada yang meniupnya,
Menutup-membuka lubang-lubangnya, menciptakan
Pengeran dan putri kerajaan-kerajaan jauh
(Sapardi Djoko Damono, ”Seruling”)
Frase ’menciptakan pangeran dan putri’ dimaksudkan untuk ’menyanyikan lagu tentang pangeran dan putri’ (totum pro parte)
Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
(Sapardi Djoko Damono, ”Yang Fana adalah Waktu”)
Frase ’memungut detik demi detik’ bermakna keseluruhan waktu, tetapi yang dimaksudkan puisi di atas sebenarnya hanya ’sebagian waktu’, atau ’waktu tertentu’. (totum pro parte)
Siang dan senja tak kusongsong
Tapi gorden enggan kututup
Aku akan menunggumu hingga dapat kuraba rambutmu
( Nenden Lilis A.,”Catatan September”)
Rambut yang dimaksudkan puisi di atas mewakili orang. (Pars prototo)
Hiperbola
Hiperbola
adalah bahasa kias yang dipakai untuk melebih-lebihkan atau
mendramatisasikan suatu keadaan. Tujuannya, agar pembaca lebih merasakan
aspek yang diungkapkan pengarang.
Perahu melayang bagai
Keranda
Yang diusung badai sungai
Juga diarak taburan air mata
(Yopi Setia Umbara, ”Hujan di Batanghari”)
Puisi di atas menggunakan dua bahasa figuratif . Pada awal larik, puisi tersebut menggunakan kata ’bagai keranda’ yang menjadi ciri khas bahasa kias simile. Dua larik selanjutnya, ’yang diusung badai sungai’, dan ’juga diarak taburan air mata’, merupakan bahasa kias hiperbola. ’Badai’ biasanya dipasangkan dengan angin atau hujan, bukan untuk sungai. Kata ’taburan’ juga
demikian, biasanya dipakai untuk ’taburan bunga’. Tetapi dalam puisi di
atas, penulis sengaja memilih taburan air mata, untuk menggambarkan
banyaknya deraian tangis.
Sumber: http://motivasik.multiply.com/journal/item/225/Mengupas_Bahasa_Kias

Tidak ada komentar:
Posting Komentar